Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

Mewariskan Iman

Apabila bicara “warisan” maka pikiran kita terbayang benda-benda berharga seperti uang, perhiasan, properti atau surat-surat berharga. Padahal ada yang lebih berharga dari semua itu yaitu warisan iman. Berulang-ulang “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:4-7). Perintah ini menekankan pentingnya untuk mengajarkan perintah Tuhan itu secara berulang-ulang, dalam setiap waktu, setiap tempat, dan setiap kegiatan. Setiap kesempatan dapat digunakan untuk mewariskan iman kepada anak. Namun pertama-tama hal yang harus dilakukan oleh orangtua adalah memiliki iman lebih dahul

Harta dan Kekuasaan

Allah menegur umat-Nya, baik di Israel maupun Yehuda yang sedang mabuk kekuasaan.  Mereka menikmati kemewahan dan hak istimewa. Mata mereka silau oleh kemilau harta kekayaan. Mereka menyelenggarakan pemerintahan dengan tangan besi dan memutarbalikkan keadilan.  Namun mereka tidak peduli pada krisis yang dialami oleh bangsanya. Mereka memiliki sumberdaya untuk menolong orang lain, namun mereka enggan mengulurkan tangannya. Mereka menyangka bahwa kedudukan dan kekayaan adalah jaminan  masa depan mereka. Mereka merasa aman dari terpaan krisis. Namun mereka jelas keliru besar. Kedudukan dan kekayaan itu seperti rumput kering yang bisa hangus dalam sekejap. Tuhan menggerakkan bangsa lain untuk menundukkan mereka. Dan  para pemimpin inilah yang akan pertama kali merasakan penghukuman itu. “Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion, atas orang-orang yang merasa tenteram di gunung Samaria” (Amos 6:1) Tindakan penghukuman Allah untuk bangsa Israel menjadi peringatan keras bagi kita, oran

Ibadah karena Cinta

Ibadah itu seharusnya berasal  “hati.” Allah tidak ingin bahwa upacara agama yang formal menggantikan kasih yang sepenuh meluap dari hati umat. Mungkin saja kita membaca Alkitab, berdoa, selalu hadir di gereja, dan ambil bagian dalam Perjamuan Kudus, tetapi semua itu dilakukan tanpa dorongan kasih dan pengabdian sepenuh hati kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan legalisme, yaitu sekadar memenuhi kewajiban. “Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.” (Ulangan 10:12) Ketaatan lahiriah berupa pelaksanaan upacara-upacara keagamaan akan memiliki keabsahan dan makna hanya jika dilandaskan pada pengenalan akan Yesus Kristus. Kesalehan ini tidak hanya berhenti di ruang-ruang ibadah, namun juga mewarnai dalam segala kehidupan setelah ibadah. Perhatikanlah bahwa “

Menjamu Malaikat

Pada zaman alkitab ditulis, alat transportasi belum maju. Orang harus menempuh perjalanan selama berhari-hari dengan berjalan kaki. Jika hari mulai gelap, maka orang tersebut harus menginap di mana pun dia berada saat itu. Tidak setiap desa memiliki rumah penginapan. Maka biasanya mereka akan menumpang tidur di rumah penduduk. Itu sebabnya, dalam hukum Taurat, orang Yahudi wajib memberi tumpangan kepada orang asing. Alasannya karena orang Israel sendiri selama bertahun-tahun telah menjadi orang asing di negeri orang saat melakukan perjalanan ke tanah perjanjian. “Jangan lupa bersikap ramah terhadap orang yang tidak dikenal, sebab dengan berbuat demikian ada beberapa orang yang telah menjamu malaikat di luar pengetahuan mereka.” (Ibr 13:2 FAYH) Penulis kitab Ibrani kembali mengingatkan hal ini kembali kepada pembacanya. Surat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Kristus. Meski mereka telah meninggalkan agama Yahudi, namun hal-hal yang baik dari agama semula tida

Menoleh

Masih ingatkah Anda pada lagu Sekolah Minggu ini? Larilah, cepatlah Lot dan k’luarga Api Tuhan turun Sodom Gomora Janganlah menoleh melihat harta Istri Lot lupa dan menoleh ke belakang Hei! Jadi tiang garam Apakah Allah begitu kejam? Masa’ hanya menoleh saja lantas dihukum menjadi tiang garam? Itu tergantung dari jenis “menolehnya.” Dalam satu hal, kita perlu menengok kembali kehidupan di masa lalu untuk merenungkan dan mensyukuri anugerah Tuhan. Juga untuk melihat kesalahan di masa lampau sehingga dapat diperbaiki di masa depan. Akan tetapi “menoleh” juga memiliki makna yang berbeda. Ketika bangsa Israel berkelana di padang gurun, mereka “menoleh” kembali pada kehidupan di Mesir. Mereka lalu bersungut-sungut. Mereka menihilkan tangan Tuhan yang bekerja secara kasat mata. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri saat Allah membelah laut agar dapat dilalui. Mereka juga mengalami pemeliharaan selama di padang gurun. Akan tetapi mereka justru menoleh dan ingin pada kehidupan saat diperbu

Menjamu Malaikat

Pada zaman alkitab ditulis, alat transportasi belum maju. Orang harus menempuh perjalanan selama berhari-hari dengan berjalan kaki. Jika hari mulai gelap, maka orang tersebut harus menginap di mana pun dia berada saat itu. Tidak setiap desa memiliki rumah penginapan. Maka biasanya mereka akan menumpang tidur di rumah penduduk. Itu sebabnya, dalam hukum Taurat, orang Yahudi wajib memberi tumpangan kepada orang asing. Alasannya karena orang Israel sendiri selama bertahun-tahun telah menjadi orang asing di negeri orang saat melakukan perjalanan ke tanah perjanjian. “Jangan lupa bersikap ramah terhadap orang yang tidak dikenal, sebab dengan berbuat demikian ada beberapa orang yang telah menjamu malaikat di luar pengetahuan mereka.” (Ibr 13:2 FAYH) Penulis kitab Ibrani kembali mengingatkan hal ini kembali kepada pembacanya. Surat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Kristus. Meski mereka telah meninggalkan agama Yahudi, namun hal-hal yang baik dari agama semula tida

Menoleh

Masih ingatkah Anda pada lagu Sekolah Minggu ini? Larilah, cepatlah Lot dan k’luarga Api Tuhan turun Sodom Gomora Janganlah menoleh melihat harta Istri Lot lupa dan menoleh ke belakang Hei! Jadi tiang garam Apakah Allah begitu kejam? Masa’ hanya menoleh saja lantas dihukum menjadi tiang garam? Itu tergantung dari jenis “menolehnya.” Dalam satu hal, kita perlu menengok kembali kehidupan di masa lalu untuk merenungkan dan mensyukuri anugerah Tuhan. Juga untuk melihat kesalahan di masa lampau sehingga dapat diperbaiki di masa depan. Akan tetapi “menoleh” juga memiliki makna yang berbeda. Ketika bangsa Israel berkelana di padang gurun, mereka “menoleh” kembali pada kehidupan di Mesir. Mereka lalu bersungut-sungut. Mereka menihilkan tangan Tuhan yang bekerja secara kasat mata. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri saat Allah membelah laut agar dapat dilalui. Mereka juga mengalami pemeliharaan selama di padang gurun. Akan tetapi mereka justru menoleh dan ingin pada kehidupan saat diperbu

Terlibat dalam Rencana Allah

Rasul Paulus dibawa berlayar ke Roma untuk diadili sebagai warga negara Roma. Di tengah laut, kapal mereka dihantam oleh badai “Timur Laut.” Kapal mereka terombang-ambing tak berdaya. Muatan sudah dibuang ke laut untuk meringankan beban kapal. Selama berhari-hari langit tampak gelap. Mereka tidak dapat melihat matahari pada siang dan bintang pada malam hari. Padahal benda-benda di langit ini menjadi  navigasi penting dalam pelayaran. Di tengah keputus-asaan, malaikat menjumpai Paulus untuk menyampaikan kabar baik bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang akan binasa. Tapi ada juga kabar buruknya, yaitu bahwa kapal mereka tidak akan terselamatkan. “Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorangpun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini.” (Kisah Para Rasul 27:22) Setelah penampakan malaikat ini, para penumpang dan awak kapal tidak secara otomatis diselamatkan. Mereka masih harus melakukan upaya-upaya p

Solidaritas Nehemia

Nehemia itu punya pekerjaan impian pada zaman itu. Dia hidup mewah di istana karena menjadi juru minuman sang raja. Tidak sembarang orang dapat menduduki jabatan ini. Hanyah orang yang sangat dipercaya raja yang dapat mendapatkannya. Pada zaman dulu, para musuh sering berusaha meracuni sang raja. Ibarat kata, Nehemia memegang nyawa sang raja. Saat sedang menikmati kehidupan yang enak itu, Nehemia mendengar kabar menyedihkan di Yerusalem: Tembok-temboknya dihancurkan, pintu gerbangnya terbakar, seisi kota menjadi puing-puing. Nehemia tercenung. Tubuhnya serasa lemah sehingga tubuhnya terduduk. Dia menangisi situasi ini selema berhari-hari dan meratap kepada Allah. Akan tetapi Nehemia tidak berlarut-larut dalam perkabungan. Dia kemudian bangkit dan mengambil tindakan. Pertama, dia meminta izin kepada raja agar diizinkan pergi ke Yerusalem untuk membangun kembali kota suci itu. Kedua, dia meminta bantuan biaya. Barangkali Anda sekarang ada dalam kehidupan yang enak. Bagaimana perasaan And

Kesempatan Kedua

Manusia itu tempatnya kesalahan. Melakukan kesalahan adalah hal yang manusiaai. Itu sebabnya ada yang namanya kesempatan kedua. Orang yang gagal dalam ujian diberi kesempatan untuk mengulang lagi.  Para penjahat dihukum penjara supaya mereka dapat dibina dan merenungi kesalahannya. Jika masa hukuman selesai, maka dia dibebaskan dan diberi kesempatan untuk memulai hidup yang baru. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22-23) Nats hari ini diserukan oleh nabi Yeremia untuk memberikan penghiburan kepada bangsa Israel. Pada masa itu, Israel sedang menerima penghukuman dari Allah. Karena ketidaktaatan bangsa Israel, maka Allah mencurahkan murka-Nya. Akan tetapi Allah memberikan kesempatan kedua kepada mereka. Murka Tuhan itu hanya berlangsung untuk sesaat saja. Kasih-Nya yang besar tidak pernah berakhir (ayat 22). Allah tidak menolak Yehuda selaku umat perjanjian-Nya dan Dia masih mempunyai rencana bagi mer

Anugerah Allah

Bagaimana Anda mengasihi Allah? Apakah karena Dia itu Allah atau karena perbuatan-Nya yang telah dilakukan pada Anda? Apakah Anda menerima berkat dari Allah karena Anda telah berbuat baik? Apakah kesalehan Anda menjadi faktor penentu seberapa besar Allah mengasihi Anda? Setan mengira bahwa satu-satunya alasan mengapa Ayub tetap mengasihi dan tunduk kepada Allah karena dia diberi berkat yang berlimpah dan dilindungi oleh Allah. Setan percaya jika tudung perlindungan Allah disingkirkan dan semua kekayaan Ayub dilenyapkan, maka Ayub pasti akan mengutuki Allah dan mati. Allah mengizinkan setan merampas semua milik Ayub, kecuali nyawanya. Ketika Ayub mendengar kabar kematian 10 anaknya dalam satu hari, Ayub berujar, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (ay. 21). Orangtua mana tidak berduka kehilangan anak? Dalam hal ini, Ayub tidak hanya kehilangan satu anak, tetapi 10 anak sekaligus! Pasti ini pukulan yang berat. Akan tetapi Ayub tidak mengutuki Allah seperti

Penghargaan dalam Pelayanan

Pada Perang Dunia II, negara Inggris kekurangan pekerja tambang batubara. Pekerjaan ini dianggap kurang bergengsi. Para pemuda lebih memilih masuk dinas ketentaraan yang lebih menjanjikan kehormatan. Melihat hal ini, Winston Churchill, sang perdana menteri, merasa perlu memberikan motivasi, Di hadapan ratusan pekerja tambang batubara, Churchill mengajak mereka membayangkan parade besar yang digelar jika kemenangan diraih. Barisan paling depan adalah Angkatan Laut yang menjadi kebanggaan Inggris. Lalu diikuti Angkatan Udara yang berjasa menghadang pesawat pengebom Jerman. Selanjutnya, pasukan Angkatan Darat. Barisan terakhir adalah para pekerja tambang. “Ketika pekerja tambang melintas, para penonton ada yang berteriak, ‘dimana saja kalian selama perang ini?’” kata Churchill,”Dan kalian akan menjawab dengan bangga,’kami ada di bawah bumi, menggali batu bara untuk kejayaan Inggris!’” “Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan” (1 Korintus 12

Taat Aturan

Kecelakaan pesawat AirAsia mengingatkan saya pada pengalaman perjalanan pulang dari Hanoi ke Singapura. Kami mengalami cuaca yang buruk. Kami mengalami turbulensi. Badan pesawat terguncang hebat. Rasanya seperti tiba-tiba anjlok dari ketinggian tertentu. Seorang pramugari jatuh duduk terduduk di lantai pesawat. Namun dia tetap tenang dan penuh penguasaan diri. Ini adalah pertanda crew yang sudah terlatih. Dia tidak menjadi panik sehingga penumpang pun ikut merasa tenang. Karena mengenakan sabuk pengaman, maka saya terikat aman saat terjadi goncangan. Inilah gunanya mematuhi anjuran keselematan penerbangan. Biasanya setelah lampu tanda sabuk pengaman dimatikan, para penumpang buru-buru melepas sabuk pengaman meski tidak akan kemana-mana. Padahal ada himbauan untuk tetap mengenakan sabuk pengamanan selama duduk. Gunanya supaya tetap aman jika tiba-tiba pesawat terguncang. Masih banyak orang yang tidak paham hal ini sehingga mereka menganggap kewajiban mengenakan sabuk pengamanan itu seb

Siapakah Aku?

Telepon berdering di sebuah landasan udara militer. Seorang prajurit mengangkat telepon itu. “Segera siapkan helikopter!” kata suara di seberang telepon, “Aku akan main golf di Bali.” “Maaf pak. Menurut peraturan, fasilitas militer tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi,” jawab prajurit itu. “Apakah kamu tahu siapa aku?!!”terdengar suara di seberang dengan nada marah. “Tidak, Anda siapa?” tanya prajurit polos. “Aku adalah Jenderal bintang empat!” “Apakah Jendral tahu siapa saya?” prajurit itu ganti bertanya. “Tidak!!” “Kalau begitu, terbang saja sendiri ke Bali,” kata prajurit sambil menutup teleponnya. Kalau Anda bertanya kepada semua orang: “Tahukan kamu, siapakah kamu?”, maka akan ada dua kemungkinan: (1) Anda dianggap sebagai orang yang sombong, atau (2) Anda dianggap terkena sindrom amnesia (kehilangan ingatan). Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Matius 16:15) Ketika Yesus mengajukan pertanyaan ini, Dia ingin menguji seberapa dalam

Tuhan Memegang

Thomas Dorsey punya talenta bermusik.  Pada tahun 1932, Dorsey terpilih sebagai presiden National Convention of Gospel Choirs and Choruses . Pada bulan Agustus pada tahun itu, Dorsey harus menghadiri konvensi musik gospel di St. Louis. Dia sebenarnya merasa berat hati meninggalkan Nettie, isterinya, yang sedang hamil tua. Akan tetapi karena panggilan pelayanan, maka Dorsey pun berangkat ke luar kota. Saat konser musik sedang berlangsung, Dorsey menerima sepucuk telegram. Isinya permintaan agar segera pulang karena isterinya akan melahirkan dan sedang dalam kondisi yang kritis. Dorsey merampungkan penampilannya lalu bergegas pulang. Sayangnya, nyawa Nettie tidak terselamatkan, namun putra pertama mereka lahir dalam keadaan hidup. Pada malam itu, anak sulungnya itu menyusul ibunya menghadap Tuhan.Dorsey benar-benar mengalami kepahitan dengan Tuhan. Beberapa hari kemudian, saat berjalan santai dengan seorang teman, dia menghampiri sebuah sekolah. Dia duduk di depan piano dan meluncurlah s

Pelajaran dari Anak Saya [2]

Suatu hari, kami sekeluarga berjalan-jalan di pusat perbelanjaan untuk mencari jaket jeans bagi Kirana,  anak kami. “Kamu pilih yang mana?” kata saya pada Kirana. “Kirana mau jaket yang ada bulunya,”jawab Kirana sambil menunjuk jaket yang ada bulunya di bagian leher dan ujung lengannya. Warnanya merah muda alias pink ! Aduh nak, pilihan warnamu kok norak banget, sih ! Kata saya dalam hati. “Pilih ini saja ya, yang bulunya berwarna putih,” bujuk saya. Menurut saya model dan warnanya lebih elegan. “ Nggak mau. Kirana mau yang ini saja,” katanya sambil mencoba jaket pink itu. Kami pun membayar jaket itu. Jaket itu langsung dipakai Kirana dengan bangga dan percaya diri. Kami justru yang malu, karena menjadi pusat perhatian di pusat perbelanjaan itu. Lalu tiba-tiba suara batin saya berkata, “Kamu itu bagaimana sih ? Kamu tadi menyuruh anakmu memilih sendiri. Tapi begitu anakmu menentukan pilihannya, kamu menolaknya. Itu namanya tidak konsisten.” Lalu Yesus berhenti dan memanggil mereka.

Pelajaran dari Anak Saya [1]

Sudah lama Kirana (2,5 thn), mengidamkan sepatu yang bergambar “ Snow White “. Sayangnya belum ada yang ukurannya pas. Ketika kami berjalan-jalan, dia melihat sepatu idamannya itu. Setelah dicoba, ternyata ada yang pas dengan kakinya. Harganya murah. Kami menawarkan sepatu model lain lain, tapi Kirana menolak. Kami coba membujuk dia dengan alasan bahwa sepatu ini lebih bagus dan harganya lebih mahal. Namun Kirana tak goyah. Dia menghendaki sepatu “ Snow White “, persis seperti yang diinginkannya sejak lama. Keteguhan Kirana memberi pelajaran kepada saya tentang hidup yang berfokus pada tujuan. Fokus membuat hidup kita berdampak dan efesien. Jika punya fokus, maka kita tidak mudah tergoda berbagai hal yang dapat membuat kita melenceng dari tujuan hidup kita. Yesus pun memiliki fokus yang jelas dalam pelayanannya, yaitu melaksanakan kehendak Bapa-Nya (Yoh. 6:38). Kemudian Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya antara Mizpa dan Yesana; ia menamainya Eben-Haezer, katanya: “Sampai d