Rumahku, Sorgaku



Rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah pusat pertemuan keluarga. Di sinilah interaksi antar anggota keluarga terjalin paling intens. Sebagian besar kehidupan kita akan dihabiskan di dalam rumah. Ketika masih kanak-kanak, kita paling banyak bertumbuh di dalam rumah. Seiring dengan pertumbuhan dewasa, kita memang bergerak ke luar rumah. Meski demikian, kita tetap membutuhkan rumah. Ketika beranjak renta, kita mengistirihatkan diri di rumah.
Begitulah, rumah menjadi pusat kehidupan ini. Rumah menjadi tempat pulang yang menyenangkan. Kita selalu diterima apa adanya. Ketika berada di rumah, kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya. Kita tidak perlu mengenakan kosmetik, tidak perlu berdandan tebal dan berpenampilan prima. Di dalam rumah, kita bisa tampil apa adanya.
Di rumah pula kita dapat memulihkan diri. Baik itu dari kelelahan jasmani, maupun keletihan batin. Setelah berbaring semalaman, kita akan mendapatkan pemulihan ragawi. Selain itu, di rumah pula kita dapat melepaskan tekanan batin yang kita terima dari dunia luar.
Rumah yang nyaman itu tidak semata-mata berkaitan dengan bangunan fisik. Ada banyak orang yang tidak betah tinggal di rumah-rumah megah yang bersih, nyaman dan wangi. Mereka tidak mendapatkan interaksi yang menyenangkan. Ini seperti yang digambarkan dalam Amsal. “Tinggal di sudut loteng lebih menyenangkan daripada tinggal serumah dengan istri yang suka bertengkar” (21:9 BIS). Tidur di dalam loteng itu tidak nyaman. Meski begitu, ini lebih nyaman daripada tidur di kamar dengan isteri yang suka bertengkar.  Lebih tajam lagi, Salomo bahkan mengatakan lebih baik tidur di padang gurun dari pada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah (21:19).
Semua itu berkaitan dengan pola interaksi antar anggota keluarga.  Sepiring sayur yang disantap di dalam keluarga yang saling mengasihi itu lebih nikmat daripada daging lezat di dalam keluarga yang saling membenci. Sesuap nasi yang ditelan dalam ketenangan batin, itu jauh lebih nikmat daripada makanan berlimpah yang disertai dengan pertengkaran (Amsal 15:17; 17:1).
Begitulah, rumah adalah bangunan fisik yang mewadahi interaksi antar anggota keluarga. Di dalam rumah, kita mempraktikkan hidup dalam kasih. Di dalam rumah, kita saling menegur dan menasihati. Di rumah, kita saling mengampuni. Di dalam keluarga, kita saling mendukung dan bertumbuh. Di dalam rumah, kita mulai mencicipi kehidupan sorga. Seperti dalam "Doa Bapa Kami", Kerajaan Sorga itu telah datang dalam keluarga kita.
Sebaliknya, jika kita mengabaikan interaksi di dalam keluarga kita, maka rumah kita menjadi seperti neraka. Jika ini terjadi, maka seperti kata penulis Amsal, para anggota keluarga memilih untuk mencari tempat lain untuk menghindari masalah dengan anggota keluarga lain. Mereka tidak punya kerinduan sama sekali untuk selalu pulang ke rumah.
Bagaimana dengan keluarga Anda? Apakah rumah Anda menjadi sorga atau neraka Anda? Cara mengetahuinya cukup mudah. Ketahui perasaan yang timbul jika Anda mendengar "pulang ke rumah." Jujurlah pada sendiri. Apakah Anda merasa tidak sabar untuk pulang ke rumah? Ataukah merasa enggan untuk pulang? [Purnawan].





Baca renungan lainnya di http://family-devotion.blogspot.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nada yang Indah

Lingkaran Ulat Bulu

Non Proletisi