Mewariskan Iman

Apabila bicara “warisan” maka pikiran kita terbayang benda-benda berharga seperti uang, perhiasan, properti atau surat-surat berharga. Padahal ada yang lebih berharga dari semua itu yaitu warisan iman.


Berulang-ulang


“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:4-7).


Perintah ini menekankan pentingnya untuk mengajarkan perintah Tuhan itu secara berulang-ulang, dalam setiap waktu, setiap tempat, dan setiap kegiatan. Setiap kesempatan dapat digunakan untuk mewariskan iman kepada anak. Namun pertama-tama hal yang harus dilakukan oleh orangtua adalah memiliki iman lebih dahulu. Anda tidak dapat mewariskan tanah jika Anda tidak memiliki tanah. Demikian juga, Anda tidak dapat mewariskan iman jika Anda sendiri tidak memiliki iman kepada Allah.


Dengan Teladan


Mewariskan itu tidak harus selalu dengan kata-kata. Fakta membuktikan bahwa perbuatan lebih dahsyat daripada nasihat. Bagaimana anak dapat membaca dan mencintai Firman Tuhan jika mereka tidak melihat contohnya dalam diri Anda?


“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2Timotius 1:5)


Paulus memuji Timotius. Meskipun masih muda, namun Timotius memiliki iman yang tulus ikhlas. Pujian itu juga dialamatkan kepada Lois, –nenek Timotius–, dan Enuinike,sang ibu. Kehidupan iman yang ditunjukkan oleh pendahulu Timotius menjadi faktor utama tumbuhnya iman sejak dini.


Disiplin


“Orang yang tidak mau menghajar anaknya, tidak mengasihinya; karena orang yang mengasihi anaknya tidak akan segan-segan menghukum dia.” (Amsal 13:24 FAYH)


Ingat, Anda bukan hanya teman bagi anak-anak. Anda adalah orangtua juga. Dalam kesempatan tertentu Anda harus melalukan tindakan yang tidak populer yaitu mendisiplinkan anak. Dalam hati kecil, kita merasa tidak tega melakukan itu. Akan tetapi jika kita membiarkan tanpa ada tindakan, maka kita justru menjerumuskan anak ke dalam jurang kebinasaan.


Aturan dalam menghukum anak adalah jangan melakukannya dalam kemarahan. Hukuman bukan cara kita untuk membalas dendam. Hukuman merupakan cara untuk menegaskan bahwa perbuatan anak itu salah. Karena itu Anda perlu menjalaskan kepada anak hal apa yang membuat anak tersebut mendapat hukuman. Setelah masa hukuman selesai, curahkanlah pengampunan dan kasihilah anak seperti semula. Jangan mengungkit-ungkit lagi kesalahan tersebut di masa mendatang.


Pujian


Ketika anak melakukan sesuatu dengan benar, berikanlah pujian. Hal itu untuk meneguhkan bahwa yang dilakukan anak itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Jangan pelit dalam memberi pujian, tapi jangan pula mengobralnya. Berikanlah pada saat yang tepat. Bapa di sorga saja juga memberikan pujian kepada Yesus.


Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:16-17)


Orangtua kadang lebih cepat mencela, tapi lambat dalam memberikan apresiasi Kita jangan sampai terpaku pada apa yang belum dilakukan oleh anak sehingga mengabaikan hal-hal baik yang sudah mereka perbuat  Jika Bapa di sorga saja merasa perlu memberikan dorongan semangat kepada Anak-Nya, bukankah kita juga perlu melakukan hal yang sama?


Rencana yang Jelas


“Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.” (Mazmur 127:4-5)


Mengapa pemazmur menggunakan metafora anak panah? Bayangkan jika seorang pahlawan memiliki 100 anak panah di tabung panahnya, namun saat dilepaskan tak satu pun yang mengenai sasaran. Apakah anak panah itu berguna baginya? Tentu saja tidak Anak akan menjadi kebanggaan jika orangtua mampu melepaskannya pada sasaran yang tepat.


Nilai keutamaan sebagai orangtua adalah ketika kita berhasil membesarkan anak di dalam sikap takut pada Tuhan. Meski begitu, jarang sekali ada orangtua yang memiliki rencana yang jelas dalam melakukan ini.  Mereka cenderung menyerahkan pembinaan kerohanian anak kepada gereja atau guru agama di sekolah. Padahal waktu yang tersedia untuk mewariskan ini tidak banyak


Albert Siegel, seorang profesor di Seminari Teologi Dallas  mengatakan bahwa, “setiap masyarakat hanya memiliki jarak 20 tahun dengan masyarakat barbar (masyarakat yang tidak berbudaya).” Yang dimaksudkannya, setiap masyarakat hanya punya waktu 20 tahun untuk mendidik anak sehingga menjadi manusia yang berbudaya Jika mereka gagal melakukannya, maka masyarakat itu akan kembali ke masa kehidupan barbar. Waktu yang tersedia untuk mewariskan iman juga tidak banyak. Berapa umur anak Anda sekarang? Apakah sudah 10 tahun? Maka waktu Anda hanya tersisa 10 tahun untuk mewariskan iman kepadanya. Dan itu bukan rentang waktu yang lama. Sangat cepat berlalu. Apakah Anda sudah memiliki rencana dengan jelas? [Purnawan]


 



Mewariskan Iman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Non Proletisi

Nada yang Indah

Lingkaran Ulat Bulu